Sunday, April 10, 2011

Norman Khan

Oleh: Taufik Arbain
Briptu Norman memang fenomenal di antara isu yang merebak bangsa ini seperti kasus Melinda Dee, tewasnya nasabah Citibank, isu Gedung baru DPR hingga politisi PKS yang menonton video porno saat sidang paripurna DPR.
Bagaimana tidak sebuah perilaku iseng dari ekspresi talenta yang terpendam diaktualisasikan lewat You tube membuat Norman menjadi fenomenal dan popular yang dalam bahasa Sosiologi terjadi proses mobilitas vertikal dari seorang yang pekerjaannya dikenal “ tukang jaga pos” dengan pangkat setara itu, tiba-tiba melejit dari seorang pengawal menjadi orang yang dikawal.
Saya ingin katakan, sebenarnya fenomena ini bisa saja berakhir dengan tragis bagi diri Briptu Norman Kamaru, jika apresiasi publik tergiring dalam irama cemooh dengan alasan sebagai seorang polisi yang memungkinkan dikenakan melanggar kode etik karena tidak beretika saat memakai pakaian dinas dan melakukan aksi di institusi terhormat. Cukup itu saja misalnya. Sebab rezim “kode etik” biasanya memungkinkan tafsir tragis bagi seseorang yang sebenarnya sangat mungkin dikenakan pada diri Norman.
Tetapi, lagi-lagi publik memberikan apresiasi yang wajar dan mendukung sebagai sebuah tindakan “menyenangkan” dalam kondisi kepatutan. Menariknya lembaga tempat Norman bekerja malah memfasilitasi luar biasa. Yang muncul dalam arena komunikasi publik adalah bahwa institusi kepolisian sangat memberikan ruang bagi anggota dalam berekspresi dan berkesenian dari seorang anggota yang bukan anak siapa-siapa (bukan anak Jenderal).
Komunikasi ini memberikan pemahaman bahwa nampaknya pihak kepolisian tidak mau terjebak dalam kancah “kode etik” yang selama ini cukup mendera sebagaimana kasus Jenderal Susno. Disamping itu, kehadiran Norman sebagai sebuah salah satu amunisi pencitraan baru di dunia kepolisian. Dalam konteks ini, masyarakat diajak melihat wajah kepolisian dalam wajah yang lain, wajah yang selama ini ingin disampaikan bagian dari kehidupan anggotanya yang tersembunyi dan menyenangkan bagi publik. Bukan wajah-wajah yang garang, galak dan menakutkan.
Sisi lain pihak kepolisian bisa saja menjadikan heboh Norman bagian dari skenario mengalihan perhatian publik diantara heboh-heboh bangsa ini, agar masyarakat tidak mencapai puncak kondisi frustasi yang cenderung gampang melakukan tindakan-tindakan patologi sosial, demikian biasanya pikiran para pakar psikologi massa. Pengkondisian keadaan secara massif dan sistematik diantara problem massa memungkinkan melemahnya intensitas frustasi massa dengan kehadiran kenyamaan dan kegembiraan baru. Briptu Norman nampaknya monumental dihadirkan atas kondisi itu, sekalipun dengan gaya kocak Chaiyya-chaiyya.
Jadi saya kira, pihak Kepolisian telah memainkan peran komunikasi massa yang cerdas dalam menangkap pikiran dan ekspresi publik atas kasus anak buahnya. Jika ekspresi publik cenderung mencemooh, alamat badan Norman Kamaru mendapat sanksi. Tetapi, justru kasus Norman menjadi bagian dari agenda penting dalam mengurangi “rasa kejenuhan publik” atas isu-isu sosial politik yang merebak bangsa ini.
Jadi kekuatan arus masa publik saat ini memungkin seseorang akan terdepak ke kiri atau ke kanan apalagi dalam nuansa yang rentan seperti kasus Norman. Padahal, dari video Norman mensiratkan ada rasa senang, bangga bahkan kasian dari sebuah ekspresi anggota Polisi yang jenuh dan membosankan dengan pekerjaan “batungguan” di pos jaga. Bravo Norman, chaiya-chaiya. Mahabat dinehe duniane khahe.(idabul Mata Banua, 11 April 2011)

No comments: