Sunday, April 10, 2011

KTP Elektronik

Oleh: Taufik Arbain
Seorang teman ramai mengisahkan soal Kartu Tanda Penduduk elektronik. Dengan semangatnya ia menyebut e-katipi alias elektronik katepe. Ia pun menyampaikan beberapa komentar dari berita media. Saya pun mencoba menyimak dengan baik cerita teman, lebih-lebih ada rencana biaya pembuatan e-KTP tersebut mencapai Rp. 50.000,-, sebuah angka yang akan menjadi perdebatan bagi orang miskin kota tentang apa pentingnya KTP buat mereka. Syukurnya wakil rakyat kota ini ternyata turut bicara soal “rakyat harus dibela”.

Banyak ahli kebijakan berpendapat, bahwa kehadiran KTP bagi kelompok miskin sebenarnya adalah kepentingan Negara (baca Pemerintah) untuk mengidentifikasi jumlah rakyatnya termasuk komposisi serta variable-variabel demografi lainnya; bukan kepentingan masyarakat yang nota bene kecuali kepentingan warga menengah yang punya kepentingan karena prasyarat administrasi.
Fakta ini dibuktikan dengan adanya kebijakan pemerintah berupa pemutihan, pembuatan KTP gratis adalah wujud pencapaian target untuk mendongkrak kesadaran warganya agar memiliki KTP sehingga penting bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan-kebijakan pembangunan bagi warganya. Tetapi, lagi-lagi tetap sulit terlaksana, sekalipun ganti Kepala Daerah pun kasus masih banyaknya warga yang tidak punya KTP tetap saja ada. Padahal sudah gratis!!!!.
Pelayanan yang diberikan oleh aparat boleh dikatakan sudah memadai, sekalipun masih ada “uang titipan” agar urusan pembuatan KTP bisa lebih cepat, juga setidaknya tidak ditemukan alasan kerusakan pada perangkat komputer. Lalu apa urgennya kehadiran e-KTP bagi penduduk?
Kalau e-KTP hanya sekadar pembeda dengan KTP manual dari sekadar adanya keterpaduan data secara nasional sehingga tidak memungkinkan seseorang memiliki KTP ganda, boleh jadi hal ini masih belum cukup. Pemerintah seyogyanya melakukan sosialisasi pentingnya e-KTP bagi publik dengan memiliki keuntungan di sisi pengguna KTP, bukan justru e-KTP hanya memiliki nilai guna di sisi pemerintah.
Saya ingin katakan bahwa paradigma pelayanan publik dalam administrasi Negara adalah bagaimana pelayanan memberikan keuntungan dan kepuasan bagi pengguna jasa tersebut. Demikian pula dengan mykad kata orang Malaysia. Hal ini ingin menegaskan kehadiran e-KTP bukan sekadar perubaan wujud KTP dari pakai chip dengan non chip, sehingga menjadi pembenar untuk memberikan “harga jual” KTP kepada publik seperti menjual produk ala perusahaan swasta hingga mencapai Rp. 50.000,-.
Bagi teman saya angka ini mengingatkan dirinya kemaren membuka rekening salah satu bank swasta sekaligus membuat kartu ATM, yang konon cara kerjanya mirip dengan e-KTP yang punyak chip itu cuma Rp. 25.000,-.
Artinya, pemerintah dalam kepentingan mendorong penggunaan e-KTP harus memastikan sosialisasi dan kegunaan e-KTP lebih efisien dan efektif baik bagi pengguna maupun bagi kepentingan pemerintah. Sebagai perbandingan misalnya Negara tetangga Malaysia penggunaan mykad atau e-KTP ini tidak sekadar data identitas diri dan keluarga pemilik KTP, tetapi meliputi data riwayat kesehatan, public key infrastructure bahkan di Eropa hingga taksi, sosial security card dan voter card menjadi satu e-KTP sebagai wujud efesiensi dan memiliki nilai guna di sisi pengguna (public).
Justru daerah otonom sangat memungkinkan, setidaknya ada sekian sedikit dari fungsi e-KTP dapat memberikan nilai tambah bagi warga tidak sekadar kepentingan disisi pemerintah khususnya dinas pencatatan sipil dan kependudukan semata, baru bicara soal “angka jual” e-KTP kepada public.
Jika belum memiliki nilai tambah atas e-KTP saya kira ditunda saja kebijakan pemerintah pusat tersebut sambil menunggu pembenahan dalam memastikan ada nilai guna yang lebih bagi publik, disamping “nilai jual” yang perlu menjadi pertimbangan. Bukankah Pemerintah Pusat telah menyediakan dana proyek ini bagi kabupaten/kota di Indonesia termasuk pelatihan bagi aparat dalam pelaksanaan teknis e-KTP?
E-KTP memang adalah masa depan bagi kepentingan kependudukan di Indonesia, jika berorientasi bagi kemudahan pelayanan publik yang efisien dan efektif. Sekurang-kurangnya tidak perlu lagi ada penduduk yang suka menggandakan KTP. Sebab soal penggandaan KTP ini tidak sekadar dimainkan dalam bentuk kecurangan pemilu, tetapi mengingatkan saya kepada Bang Amat sang penjual obat dari kampong ke kampong memamerkan banyaknya KTP yang dia miliki. Saya sempat berguman,” hebat betul Bang Amat ini punya KTP ganda, jangan-jangan bang Amat juga punya bini ganda?”. Mungkin saja! (idabul, Mata Banua 14 Maret 20110

No comments: