Sunday, April 10, 2011

Terima Kasih

Oleh: Taufik Arbain
Dalam sebuah percakapan seorang teman bercerita soal warung ke warung. Ada yang bercerita sudah menikmati hidangan ini hidangan itu. Dari masakan Banjar, Arab, Jawa, Madura, Cina hingga soal gulai kambing. Yang terakhir ini kebetulan kebanggaan kawan-kawan saya yang kebetulan lebih tua dari saya, sekalipun rupanya seperti saya. Muka boroslah kata teman-teman.
Entah karena sudah terbiasa oleh suasana pelayanan makan yang hanya mengandalkan kelezatan sehingga melupakan hal-hal lain seperti pelayanan dan kebersihan. Kalau pun ada paling sekitar soal pemilik atau pelayan warung atau rumah makan yang kata teman…..” bolehlah!”
Menariknya, menjadi bahan diskusi ketika ada seorang teman bercerita pengalaman saat menyantap makanan yang baru dilaunching (kaya launching buku saja, soalnya kebiasaan istilah itu dikampus soal buku), dimana saat keluar rumah makan setelah bayar ke kasir langsung ada teriakan “hatur nuwun………………..”. Terima kasih gitu loh!
Teman-teman kemudian mendiskusikan pengalaman soal warung mewarung dihubungkan dengan pelayanan adanya hatur nuwun ini. Pernahkah kita menemui warung Banjar yang mengucapkan terima kasih? Baik warung atau rumah makan yang skala besar, sedang atau di kecil?
Agaknya soal diskusi hatur nuwun ini menjadi isu diskusi menarik kawan-kawan di warung pojokan Taman Budaya yang dikenal dengan Warung Komisi XI. Ragam jawaban muncul. Dari jawaban Ada, kadang-kadang hingga tiada sama sekali. Analisis pun berkembang. Pengalaman kawan-kawan pernah membawa tamu di hampir pedagang soto Banjar misalnya, jangankan silahkan masuk, masuk ke tempat warung itu saja dicuekin, sesuatu yang terbalik dengan warung-warung yang dikelola oleh orang Jawa.
Parahnya, sudah lawas mahadang, menyajikan pun tidak dengan ramah. Anehnya sang pemilik warung ketika menerima bayaran, asyik dengan hitungan mesin hitung kemudian mengangsul apabila lembaran besar, pun tidak sempat mengucapkan terima kasih. Kata teman saya “mata gin ke lain”!
Gejala kolapnya warung dan masakah Banjar sebenarnya bisa dimulai dari sini, ketika masyarakat di Banjar semakin banyak naik kelas secara ekonomi. Dari kelas bawah menuju kelas menengah. Artinya analisis ini akan mencerminkan dimana orang akan mencari tempat makan yang tidak sekadar menyajikan kelezatan, tetapi juga menyajikan keramahan dan kenyamanan. Ketika sajian masakan dari etnis lain terasa lebih lezat ditambah harga pantas, pun keramahan akan menjadikan orang merasa nyaman bersantap ria.
Rupanya perlakuan-perlakuan ini tidak sekadar di kelompok warung menyajikan soto Banjar, tetapi juga nasi itik Gambut yang terkenal itu. Pengalaman teman menceritakan bagaimana perlakuan seakan-akan pembeli ini kahandakan, dan wajah sang kasir yang diduga pemilik sangat sombongnya. “berat kali ucapkan terima kasih Karena kepayuan”.
Diskusi teman pun berkembang, bagaimana menyelamatkan perekonomian masyarakat yang masih mengandalkan kekhasan masakan Banjar sebagai identitas masakan lokal. Pengalaman – pengalaman ini saya kira sebagai catatan berharga untuk melakukan koreksi dan antisipasi atas serbuan warung-warung makan yang menawarkan kenyamanan, kelezatan dan keramahan yang lebih. Tentu saja, ini bisa dilihat terjadinya pergeseran tempat singgah di daerah-daerah Binuang yang mulanya sangat ramai menjadi sepi.
Uniknya, beratnya lidah penjual makanan Banjar dibandingkan dengan orang Jawa atau Padang, saya kira boleh jadi kebiasaan selama ini yang mengandalkan tradisi bewarung pada aspek kelezatan saja, bukan pada aspek lainnya yang menjadi bagian penting dalam berbisnis. Nah, kita bisnis bewaring makanan mulai sepi, diikuti oleh berdirinya jenis warung makanan di sekitar warungnya, maka yang berkembang tuduhan pun bertubi-tubi bahwa ; “ warung kami kada payu, karena diandaki pembenci”.
Inilah saya kira biasanya kesimpulan sempit yang mengemuka dibandingkan terbangunnya kesadaran berbisnis yang lebih baik, maju dan bermartabat. Sebab mengucapkan terima kasih kepada pembeli yang dianalogikan sebagai raja adalah tanda-tanda peradaban yang bermartabat, karena di dalamnya mengandung unsur sebuah kerendahan hati. Apakah warung anda mengalami kasus serupa?(idabul. Mata Banua, 29 Meret 2011)

No comments: