Sunday, April 10, 2011

Lompat Pagar

Oleh : Taufik Arbain
Istilah loncat pagar lazim sudah didengar banyak orang. Tetapi perilaku lompat pagar biasanya dianggap sesuatu yang tidak lazim, karena ianya dianggap melanggar kepatutan. Orang melakukan lompat pagar memang biasanya dalam situasi darurat, mendesak atau terkadang memang tidak sabar menunggu sang pemilik pagar membukakan pintu pagar.
Keputusan-keputusan demikian akhirnya menimbulkan sesuatu yang masih tetap dianggap tidak layak dan tidak patut, apalagi bukan dalam keadaan darurat yang semestinya untuk menjaga keselamatan jiwa.
Dalam perjalanan menuju Lamandau dari Bandara Iskandar Pangkalan Bun, saya sempat mengartikan lebih jauh soal lompat pagar ini. Pikiran saya berkecamuk. Bukankah tindakan lompat pagar sah-sah saja dilakukan ketika secara psikologis orang mau meraih sesuatu dengan segera? Bukankah lompat pagar bias diartikan ketika melihat buah mangga di sebelah pagar segera diambil sebelum didahului orang?
Bukankah lompat pagar bagian dari kegigihan dan keuletan seseorang untuk meraih sesuatu dengan cara cepat tanpa menunggu waktu, dan tidak membahayakan orang lain, kecuali diri sendiri kalau tidak hati-hati? Jar urang Alabio kalu salawar takaya/takait jeruji pagar.
Lalu saya mencoba mengkonstruksi pikiran ini dalam perilaku banyak orang di dunia politik. Pun analisisnya sama. KEDARURATAN, adalah jawaban mengapa mereka berpindah dari satu partai ke partai lain. Namun, demikian dari sekian banyak situasi seseorang lompat pagar di partai biasanya karena kondisi dimana dia hidup tidak memungkinkan lagi bertahan dan memberikan masa depan bagi politisi bersangkutan. Indikatornya bisa disebabkan ketidaknyamanan di internal partai, maupun ada tawaran dari luar partai yang lebih menggiurkan bagi survive politiknya.
Alasan survive politik yang berujung pada peraihan kekuasaan dan kekayaan sebenarnya justru alasan utama. Para ahli mengatakan hanya sedikit orang berpindah partai karena kepentingan rakyat dan hajat orang banyak. Lord Action saya kira sudah mengingatkan bahwa orang yang berkuasa lama cenderung korup. Tentu saja orang yang cenderung ingin berkuasa lama, tujuannya untuk mengekalkan kekuasaan dan bertindak koruptif (jangan diartikan selalu duit).
Atas dasar ini saya kira lambungan alasan selalu seakan-akan berpihak pada kepentingan rakyat dan dihembuskan sedemikian rupa untuk membangun pencitraan dalam meraih popularitas, akseptabilitas hingga elektabilitas. Dalam perjalanan waktu perilaku lompat pagar pun dianggap lazim, karena public telah memberikan pembenaran pada dirinya bahwa apa yang dilakukannya itu layak dan patut dilakukan, bahkan sekalipun dirinya mencibir atau mencaci pada institusi yang dulu pernah membesarkannya.
Analisis ini akhirnya semakin menegaskan pula bahwa tiada lawan dan kawan yang abadi, kecuali kepentinganlah yang abadi sebagaimana difatwakan Harold Laswell seorang pakar politik masa lampau. Namun, demikian muncul pula pertanyaan, lalu dimana nilai-nilai religiusitas yang dicitrakan lewat merek dan ideology partai atau kegiatan-kegiatan keagamaan yang setiap gelar berani mengeluarkan uang ratusan juta rupiah, sehingga mengalahkan kepatutas social dan etika dalam berpolitik. Kemudian dimanakah para penasehat politik dan agamawan yang sering menemani.
Rupanya, magnet kekuasaan memang mengalahkan segalanya, sekalipun setiap hari symbol-simbol religiusitas selalu bertahta dengan sombongnya. Yang tak kalau dahsyat, perilaku lompat pagar biasanya apabila melakukan tindakan “buruk sikuan”. Sesuatu yang pernah diberikan, ditarik kembali. Jadi organisasi public seperti parpol dalam rangka tujuan kebaikan bersama bisa saja menjadi organisasi privat, tergantung siapa komandannya. Politik memang selalu membingungkan.(idabul, Mata Banua, 28 Februari 2011)

No comments: