Sunday, April 10, 2011

Susu Bakteri

“jangan sebut saya sebagai pahlawan. Pahlawan adalah mereka yang turun ke jalan. Jadi arahkan mata Anda kepada orang yang tepat” (Wael Ghonim, Mesir 12 Feb2011)

Kalimat itu sengaja saya kutif, karena sangat menarik untuk menjadi renungan. Disisi lain, kasus Gugatan terhadap Mobarak di Mesir, mengalahkan kasus susu formula mengandung bakteri. Tapi intinya dari kedua hal tersebut, sama-sama dalam ranah perlawanan. Jika kasus Mesir adalah perlawanan, kasus susu formula mengandung bakteri adalah ketidakberdayaan.

Sekalipun masyarakat meributkan soal isu ada produk susu formula yang mengandung bakteri, toh Pemerintah tetap saja belum mengumumkan. Bahkan sebaliknya, bahwa tenggang waktu susu mengandung bakteri itu sudah lewat, pasca penelitian terhadap beberapa produk susu dimaksud. Termasuk IPB sendiri, tidak mau mengumumkan sebagai pihak yang independen sebelum dikeluarkannya keputusan dari MA.
Ada pandangan seorang dokter di Surabaya, bahwa hampir semua produk susu formula tidak ada yang steril, cuma yang berbeda adalah persentase bakteri yang mengandung pada produk itu. Ketidaksterilan susu tersebut masih dalam kondisi aman untuk dikonsumsi bayi. Juga perbedaan metode dan standar dalam penelitian menunjukkan apakah bakteri dimaksud dalam batas aman atau tidak masih menjadi perdebatan oleh pihak-pihak yang melakukan penelitian terhadap produk susu formula. Dia membandingkan, bahwa ribut-ribut soal bakteri susu formula itu, hingga saat ini belum terdengar kasus tentang keracunan yang disebabkan oleh mengkonsumsi susu formula tersebut. Di Amerika ada satu kasus keracunan disebabkan oleh susu formula adalah 1 :100.000 bayi . Mencengangkan memang!
Saya berpendapat, bahwa kasus ini sebenarnya menarik dicermati dalam perspektif pelayanan publik untuk menegaskan adanya Negara dan pemerintahan. Sebab pemerintah merupakan institusi yang bertanggung jawab kepada publik atas apa-apa yang menyangkut hajat dan kenyamanan orang banyak. Sebab perhatian atas keprihatinan publik bagian dari responsivitas pemerintah.
Sekalipun IPB tidak mau menyampaikan produk susu formula apa saja yang menurut hasil penelitian mereka mengandung bakteri, saya kira pemerintahlah dalam hal ini Balai POM dan Kementeriannya Tifatul Sembiring yang mengkomunikasikan kepada publik. Baik itu soal ada tidaknya bakteri, berbahaya atau tidak, kandungan aman dan tidak aman berapa, termasuk standar dalam metode penelitian yang digunakan.
Diamnya pemerintah, terlebih diamnya IPB seperti menjaga ranah aman, justru menciptakan tanda Tanya public atas respon pemerintah dan perguruan tinggi. Negara harus mampu membangun kepercayaan, di saat menguatnya tuduhan “kebohongan pemerintah” yang kian mengeras sekalipun kebohongan dimaksud lebih banyak dalam ranah politik. Namun, soal susu formula justru jauh lebih baik karena menyangkut kecemasan orang tua yang memiliki buah hati penerus generasi.
Pemerintah nampaknya selalu memilih “jalur pembiaran”, disebabkan tidak mau bersinggungan dengan pihak perusahaan yang sering “bermain mata” dengan kelompok pengambil kebijakan, sehingga kasus susu formula dibiarkan berlarut-larut seiring mencari pembenar bahwa belum ditemukan adanya kasus korban akibat susu formula…sebuah strategi yang dikembangkan ala konvensi minyak tanah ke elpiji, sembari menunggu korban berjatuhan baru kemudian pemerintah bersikap.
Setidaknya, kasus susu formula ini menjadi pelajaran bagi banua khususnya pengambil keputusan yang menamakannya dirinya aparat pemerintah. Bahwa pola-pola pembiaran atas kasus yang menyangkut hajat orang banyak adalah jalan yang keliru dan sesat, karena menafikan dari amanat tanggungjawabnya untuk melindungi dan mengayomi rakyat yang diperintahnya.
Pendekatan-pendekatan pembiaran atas kasus-kasus yang menyangkut publik akan melahirkan perlawanan, sekalipun perlahan tetapi memungkinkan menjadi kepastian. Diluar perspektif hak rakyat dan kewajiban Negara, bagaimanapun juga kasus susu formula yang mengandung bakteri ini, susu yang nyaris tanpa bakteri justru ciptaan Yang Maha Kuasa yakni ASI. Ini sebenarnya yang perlu kita renungkan.(Idabul, Mata Banua, 14 Februari 2011)

No comments: