Wednesday, October 26, 2011

Asrama Haji

Oleh: Taufik Arbain
Sekarang musim haji, musim dimana banyak orang bepergian haji atau di kampung disebut dengan “tulak haji”. Saya ingat betul banyaknya arak-arakan orang sekampung mengantarkan seseorang yang tulak haji. Hampir semua orang tidak ingin membiarkan begitu saja momentum keberangkatan termasuk kedatangan orang berhaji. Kalau yang berangkat haji dari Hulusungai, sudah dipastikan mobil angkutan atau mobil colt L-300 didepannya diletakkan kain tapih bahalai.
Tapih bahalai setidaknya sebagai penanda orang mengangkut baik mengantar maupun menjemput, yang boleh jadi bahasa tulis waktu itu tidak terlalu dipahami. Tapih bahalai sesuatu yang praktis dan sudah menjadi symbol komunikasi.
Lebih dari itu, naik haji bagi orang Banjar tentu saja tidak sekadar menunaikan ibadah rukun kelima, tetapi nampaknya menjadi prestise bagi seseorang, dimana jika bergelar haji maka dirinya akan mendapatkan kehormatan di mata orang sekampung. Demikian pula jika dulu ditempat kenduri hanya duduk di pojok ruangan atau di depan teras, kini akan diberikan tempat duduk tepat di depan tawing halat bersebelahan dengan sang Tuan Guru. Pun dengan bergelar haji merupakan langkah lanjutan untuk berbini lebih dari satu.
Inilah barangkali sejak berabad-abad, jika orang Banjar rajin mengumpulkan modal untuk berhaji sehingga dalam catatan petugas statistik Belanda melaporkan bahwa begitu besar jumlah penduduk dari kerajaan Banjar yang naik haji dibandingkan dengan suku-suku lain di nusantara, termasuk mereka yang telah melakukan tradisi madam ke beberapa daerah lain.
Adalah bagian dari kepatutan sosial, kemaren saya menemui keluarga saya yang berangkat haji bertolak dari Amuntai. Saya bersama-sama orang-orang dari berbagai latar belakang turut serta dalam kerumunan, bersalaman dan “beragapan” dengan sang calon haji dan mendoakan semoga selamat menjadi haji yang mabrur.
Demikianlah tradisi kita dan orang-orang sekampung dalam mengkomunikasikan kegembiraan terhadap keluarga, kerabat dan teman yang “tulak haji”. Belum lagi menjadi haji, orang sekampung menunjukkan simpati dan memberikan penghormatan serta kemuliaan atas para calon tamu Allah tersebut.
Bentuk apresiasi publik terhadap para calon haji ini sangat terasa ketika berada di lingkungan asrama haji Banjarbaru. Kita menyaksikan di sekitar asrama haji tempat orang menyempatkan bersalaman dan berdoa-doaan, ianya menjadi ajang para pedagang memberikan kemudahan kepada para pengantar dengan tawaran makanan dan minuman.
Namun sayang, rupanya seperti tahun-tahun sebelumnya, petugas dan orang-orang Departemen Agama Propinsi Kalsel sangat “senang” melihat pemandangan kotor dan kumuh di sekitar asrama. Nampaknya komunitas yang lebih sering mendengarkan kebersihan sebagian dari iman ini, menganggap biasa-biasa saja soal demikian.
Bagaimana bisa para calon haji telah menyerahkan dana sedemikian rupa dan APBD turut digelontorkan dalam memberikan pelayanan yang terbaik, toh tetap saja pelayanan kepada calon haji termasuk para pengantar tidak ada motivasi melayani dan menghargai.
Saya ingin katakan, lingkungan bagi pengantar termasuk tanggungjawab dalam pelayanan publik oleh pihak Depag Provinsi, sebagaimana pelayanan publik oleh birokrasi di Negara-negara maju. Artinya fasilitas ruang berwudhu, wc dipastikan bersih. Termasuk ruang mushala yang seperti bukan untuk shalat, apalagi sajadah seakan belum pernah dicuci sejak dibeli lima tahun lalu. Bagaimana bisa bersih, sedangkan tong sampah pun tidak disediakan di sekitar para pedagang dan tempat parkir.
Anehnya, pungutan parkir dilakukan, tetapi tidak ada petugas yang menata parkir mobil maupun yang membantu memberikan layanan ketika mobil mau keluar di jalan besar. Babisa-bisa saurang!
Saya kira ruang berpikir para pengelola asrama seharusnya tidak sebatas, pada ruangan dan lingkungan sekitar para calon haji saja, tetapi selama lingkungan itu menyangkut kepentingan publik termasuk publik pengantar seyognya dilakukan pelayanan yang terbaik. Jadi memahami pelayanan haji yang bagian dari pelayanan publik jangan hanya sebatas prosedural administrative bagi calon haji, tetapi pada aspek yang berhubungan dengannya. Saya tidak bisa membayangkan, adakah Kepala Kantor Depag Kalsel merasakan kumuh, kotor di sekitar Asrama ketika dia melewati menuju asrama untuk memberikan pengarahan kepada para jamaah?
Jadi saya kira Depag harus memahami penyelenggaraan haji tidak sekadar pada soal tercapainya procedural saja, tetapi penyelenggaraan haji termasuk bagian dari kepentingan publik sehingga hal-hal berkaitan dengannya juga turut menjadi perhatian.
(Idabul, Mata Banua, 24 Oktober 2011)

No comments: