Wednesday, October 26, 2011

Hafiz KPU

Oleh: Taufik Arbain
Beberapa hari yang lalu, semua media cetak di banua ini mengabarkan Ketua KPU Pusat Prof DR Muhammad Hafiz Anshari berstatus tersangka atas dugaan pemalsuan surat dan keterangan palsu dalam sengketa Pemilu Legislatif 2009 Dapil Maluku Utara. Tentu saja banyak kalangan menyayangkan hal ini terjadi pada sang Ketua KPU. Tidak sekadar sangkaan saja yang beredar, tetapi soal reputasi orang-orang banua yang juga akan melakukan peruntungan di pusat dalam berbagai sektor profesi.

Ada seorang teman bercerita, jika benar pak Hafiz dinyatakan sebagai tersangka, paling tidak akan menghambat gerakan-gerakan orang banua merebut Jakarta. Dalam konteks ini, memang sempat terjadi perenungan dan evaluasi dari pelajaran kasus Pak Hafiz, sekalipun kabar terakhir hanya salah tulis oleh pihak Kepolisian.
Menurut kawan, bahwa banyaknya para akademisi yang masuk kegiatan di luar akademis seperti angota KPU, KPUD, KPI, KPID dan lainnya dianggap telah terjadinya pergeseran peran dan fungsi sebagai seorang akademis. Mengapa harus keluar peran dan fungsi sebagai cendikia, akademisi di kampus?
Sang kawan mengatakan, seyognya apabila sudah memastikan sebagai akademisi ya harus konsisten menjadi akademisi yang bergelut dalam kawah candradimuka. Selama ini seakan asal masuk saja menjadi apa, padahal bukan bidangnya hanya dikarenakan dalam persoalan rekruitmen lebih mengedepankan kepentingan politis ketimbang kepentingan profesionalisme. “Ketidakpahaman terhadap pekerjaan, justru mempermalukan latarbelakangnya sebagai seorang akademis”, demikian komentar kawan.
Kampus sebenarnya tidak lebih dari batu loncatan saja hingga kemudian diperkuat dengan jenjang pendidikan dan gelar kehormatan (guru besar), sementara orientasi sebenar pada ekonomi dan jabatan strategis. Akhirnya disaat terjadi pematangan terhadap keilmuan justru mahasiswa tidak lagi mendapatkan hal yang matang, kecuali dari tahun ke tahun berhadapan dengan dosen-dosen baru dan muda.
Kehadiran komisi ini dan komisi itu, malah menjadikan pilihan dan kompetesi para akademis, sekalipun undang-undang telah memberikan ruang untuk itu. Cuma persoalannya terkadang dipaksakan sekalipun latarbelakang akademisnya bukan di bidang komisi yang digelutinya. Inilah yang dimaksudkan kawan tadi sangkaan-sangkaan kemungkinan ketidakcermatan dan ketidakpahaman terhadap kasus pemilukada, bukan tidak mungkin mengiring para komisioner kepada pelanggaran hukum.
Lebih lanjut kawan berceramah, seharusnya penguatan akademis di banua ini justru ketika mahasiswa mendapatkan kematangan ilmu, dimana bisa bertemu setiap saat dalam perkuliahan, bukannya waktu yang dimiliki para akademis yang menjadi komisi ini atau profesi lainnya habis dan meninggalkan mahasiswa selama menjabat 4 atau 5 tahun. Sebab menjadi akademisi adalah sebuah pilihan, dimana pikirannya, gagasannya, wacananya menjadi dambaan banyak pihak untuk disemaikan dalam media apa pun, termasuk kepada mahasiswanya. Pun siap menuai segala resiko dari pikiran dan pernyataannya.
Saya terus mendengarkan pandangan kawan yang satu ini. Saya mencoba menyikapinya dengan bijaksana, bahwa perkembangan demokrasi dan pemerintahan telah menarik kalangan akademisi ke dalam peran-peran strategis bahkan sampai teknis. Sebab ada harapan publik dan harapan penyelenggara Negara, termasuk di Negara maju melibatkan akademis sebagai pihak pengontrol, penyeimbang dan pengawal dalam mengambil langkah-langkah strategis setiap kegiatan yang menyangkut publik, disamping kemampuan cepat menerjemahkan hal-hal yang bersifat situasional.
Harapan publik pelibatan kelompok akademisi ini dan komponen stakeholder lainnya akan terjadi perbaikan dalam banyak hal. Sekalipun dalam perkembangannya justru ada sebagian mengabaikan peran-peran kepentingan perbaikan, tetapi menjadi bagian dari kepentingan kekuasaan, melupakan peran akademis sehingga tidak ada waktu untuk berbagi pikiran, pengalaman dan kelas, karena proses seleksi sangat nampak dilewati oleh tarikan-tarikan kepentingan politis bahkan terkesan seperti panitia Hari Besar Islam, karena harus diwakili oleh representasi ummat sebagaimana kasus Kalsel.
Teman saya langsung menimpali,” parahnya lagi, bahwa jabatan strategis non akademis itu justru dianggap sebagai prestasi dan “per-agakan” bahwa dirinya lebih hebat dari teman-temannya padahal tak satu pun buku pernah dibuatnya sebagai ciri seorang akademis, minimal pikirannya dalam tulisan,”. Saya hanya berucap,” Yes, I Know..I Know…understand!(idabul Mata Banua, 17 Oktober 2011)

No comments: