Wednesday, October 26, 2011

Demokrasi, Literasi Media dan Kesadaran Publik

Oleh : Taufik Arbain

Pengantar

Harus diakui demokrasi telah menawarkan banyak hal dalam perkembangan mengemukakan pendapat, berserikat- berkumpul dan berkreatifitas mengikuti perkembangan zaman. Sebuah bangsa memungkinkan terjadinya perubahan sistem sosial ketika pintu masuknya dimulai dari demokrasi. Sebab demokrasi tidak sekadar dipahami dari rakyat untuk rakyat sebagai bagian dari rezim pemilu yang sifatnya berkala empat -lima tahunan, tetapi justru demokrasi sebenarnya milik publik setiap saat. Dalam konteks ini akhirnya demokrasi menjadi instrument sosial movement. Lalu siapa sebenarnya yang mendapatkan peruntungan dominan atas ruang demokrasi setiap saat itu?

Menurut saya adalah media! Baik media cetak maupun media elektronik dengan segala perkembangannya yang mampu menyuarakan apa saja secara terbuka ke publik. Karena medialah pihak yang paling banyak mendapatkan “jatah warisan” buah dari demokrasi baik dalam konteks subtansi demokrasi itu sendiri maupun konteks ekonomi.
Atas dasar pewaris dominan peruntungan demokrasi ini, media pun bergerak setiap waktu dengan segala energinya menawarkan pikiran, wacana, opini, peristiwa, hiburan dalam ragam kemasan kepada publik, termasuk berkompetesi dengan sesamanya baik di tingkat lokal maupun nasional untuk menjadi yang terdepan dalam mengabarkan (meminjam istilah dari TV One) dan terasyik dalam menyiarkan.
Kebebasan Media dan Paradoks demokrasi
Menyikapi perkembangan media dan dampak yang ditimbulkannya kepada publik, pandangan Samuel Huntington (2000), saya kira menarik untuk dicermati berkaitan dengan paradox democracy. Sekalipun Huntington membahas paradoks demokrasi dalam kasus Indonesia lebih memfokuskan pada langkah-langkah pencederaan demokrasi (defektif demokrasi) oleh sebagian elit dalam meraih kekuasaan dengan memanfaatkan hadirnya demokrasi itu sendiri. Saya kira adaptasi paradox democracy dalam konteks perkembangan media sangatlah mengalami kemiripan dalam menelaah perkembangannya, dimana fakta dampak negatif tayangan media kepada publik adalah salah satu kontraproduktif dari harapan demokrasi. Contoh yang paling gampang adalah ketika media mampu memainkan “sentiment primordial” yang pekat kepada publik, ketika siapa dan partai apa pemilik industri media tersebut. Ini adalah situasi tidak aman dalam perjalanan media di Indonesia dalam rangka kepentingan bangsa, dimana kecenderungan penguasaan atas kepemilikan semakin meningkat yang otomatis semakin menurunkan kebebasan pilihan atas media independen.
Adanya pengaduan dari masyarakat atas pencemaran nama baik, pelanggaran kode etik kepada Dewan Pers, tayangan kekerasan, porno, dan mistik termasuk media yang berpihak, menutup mata fakta kemanusiaan hanya karena iklan mahal dari perusahaan misalnya adalah fakta munculnya paradoks demokrasi yang pada gilirannya melahirkan tuduhan-tuduhan kesalahan kepada media. Harapan kita tentu saja, situasi tidak aman bagi media hari ini atas pemberitaan dan tayangannya, jangan sampai mendorong kehadiran Pemerintah (eksekutif dan legislative) membuat regulasi yang justru dijadikan justifikasi pengekangan atas peran-dan fungsi media sebagai tulang punggung dalam mengawal demokrasi itu sendiri. Pertanyaannya adalah apa yang bisa kita lakukan atas kinerja media seperti ini? Melakukan kutukan atau membangun kesadaran bersama?
Literasi Media dan Kesadaran Publik
Stuart Ewen(2000) melihat hubungan antara literasi dan demokrasi tidak bisa dipisahkan dari gagasan tentang informasi rakyat, fasih dan isu-isu yang menyentuh kehidupan mereka, diaktifkan dengan alat yang memungkinkan mereka berpartisipasi aktif dalam musyawarah dan masyarakat dan perubahan sosial.
Ini artinya membicarakan soal literasi media sebenarnya bukan sekadar milik orang-orang yang berkecimpung di media, pengamat media, pengamat kebijakan publik maupun pemerintah, tetapi sekarang sudah harus menjadi bagian integral dari masyarakat/publik. Sekalipun tidak gampang mendorong kemampuan publik dalam menilai sebuah tayangan mana yang baik dan mana yang buruk, karena berkaitan dengan tingkat pendidikan dan kemampuan pada olah otak analisis (sense of critics) lebih-lebih bagi publik Negara-negara berkembang seperti Indonesia. Tentu saja diperlukan waktu yang cukup menumbuhkan kesadaran publik dalam konteks literasi media.
Kehadiran literasi media bisa dikatakan sebagai bentuk perlawanan atas paradoks demokrasi dari peran media, dimana literasi media sebenarnya sama –sama memberikan penguatan terhadap peran publik dan peran media dalam rangka posisi setara antara penjual jasa dan pengguna jasa media.
Kemampuan penilaian konten tayangan dan bacaan selama ini sebagai salah satu kegiatan literasi media hanya pada kemampuan melahirkan kutukan atau pujian yang pada gilirannya melahirkan konflik terbuka antara publik dan pengelola media. Ianya belum lagi masuk dalam ranah penyadaran dan introspeksi masing-masing. Diasumsikan kompetesi antar media dalam terdepan melayani publik dan kebutuhan financial bagi pengelola media, serta pilihan orientasi hiburan bagi publik sendiri sebagai faktor determinan membuat lambat proses pengembangan literasi media.
Pengembangan literasi media dan membangun kesadaran publik, tidak hanya terfokus pada publik sebagai pihak pengkonsumsi layanan media, tetapi diperlukan juga kewajiban etika dan moral praktisi media sekalipun harus berada dalam tekanan kompetesi dan aturan main/regulasi boleh tidaknya suatu tayangan semisal kekerasan (perdebatan etis dengan regulasi). Sisi lain, sebagaimana pendapat Horsey, media bisa menjadi “orang ketiga” yang mempengaruhi kehidupan publik. Ketidakmampuan publik dalam mengembangkan literasi media, seumur hidup publik akan dipengaruhi komunikasi massa dari buatan pengelola media.
Diantara varian pengembangan literasi tentu saja hanya mampu dilakukan oleh elit menengah publik, jika merujuk rating tertinggi diminati publik adalah hiburan atau berita-berita menyenangkan, seperti kemampuan berpikir kritis dan mengembangkan penilaian independen, memahami proses komunikasi massa, memahami konten, menghargai kekuatan pesan media, membedakan emosi dari sebuah reaksi, kemampuan memahami kontens dan efek-efeknya, termasuk unsur-unsur keterampilan yang diperlukan dan sebagainya dalam literasi media.
Di Negara-negara maju dalam membangun kesadaran publik terhadap media telah mengembangkan kurikulum literasi media (Kanada,Britania dan Australia) karena kehadiran media selalu menanti setiap saat dimana pun mereka berada. Pemahaman literasi media bagi Negara – Negara maju menjadikan media memainkan perannya untuk juga menampilkan tayangan dan bacaan yang mendapatkan akseptabilitas publik. Adanya kolom-kolom anak muda atau mahasiswa misalnya merupakan langkah pengembangan literasi media yang mendorong pada peningkatan keterampilan literasi media, tidak sekadar sebagai pihak penerima layanan.
Dalam konteks ini pengembangan literasi media dalam rangka publik sadar media setidaknya; pertama, harus menjadi komitmen publik dan kelompok elit publik (ormas,NGO dan Perguruan Tinggi) dimana jangan absen dalam melihat persoalan kritis terhadap tayangan dan bacaan publik ini untuk turut mengajarkan pemahaman literasi media. Komitmen ini tidak sekadar membantu dalam memainkan seleksi alam terhadap kehadiran media(memilih dan memilah) di tengah publik tetapi melakukan grand design dalam menghadapi secara cerdas dan kritis.
Kedua, komitmen pengelola media untuk menampilkan tayangan dan bacaan yang menggemakan nilai-nilai edukasi dan etika moral termasuk komitmen memberikan ruang aduan publik berkaitan dengan tayangan dan bacaan. Komitmen ini tentu saja pemahaman untuk tidak selalu mengagungkan ketakutan Napoleon Bonaparte sampai abad ini, tetapi komitmen untuk saling menghargai dan pemahaman keterampilan jurnalistik sendiri. Ketiga, komitmen pemerintah dalam memfasilitasi pengembangan literasi media dan kesadaran publik dalam rangka bagian dari fungsi turut mengawal demokrasi, bukan terlibat dalam intervensi pengekangan kebebasan menyampaikan pendapat. Kalaupun ada regulasi adalah yang membangun sinegis antara banyak pihak.
Penutup
Literasi media tidak sekadar menjadi kesadaran elit publik, tetapi literasi media harus menjadi sebuah social movement, sama seperti pergerakan demokrasi itu sendiri. Karena efek media turut mempengaruhi seluruh kehidupan publik sebuah bangsa dari tradisi mendongeng sampai ke tradisi menonton, sekalipun tradisi membaca belumkah kuat.

Banjarmasin, 21 Oktober 2011
Disampaikan pada seminar Forum Pengembagan Literasi Media Kementrian Informasi dan Pemprov Kalsel.

No comments: