Wednesday, October 26, 2011

Kontrak Setia Aparat Birokrasi

Oleh: Taufik Arbain

tatak barata sampai ka putting
badanku kurus bukanlah garing
Lantaran mata kada taguring

Lirik lagu Banjar karya pencipta dari Kotabaru di atas barulah benar soal kesetiaan. Saya sangat meyakini, bila seseorang berkata-kata tentang setia kepada lawan bicaranya, atau seseorang melihat teks “setia”, maka otak orang tersebut akan mempersepsikan soal setia ini ada kaitannya dengan cinta langsung pada objek sepasang kekasih atau sepasang suami - isteri. Setelah itu,

jika ada variabel stimulus terhadap persepsi tersebut, maka setia itu bisa bergeser pada konteks yang lain, apakah setia kepada bangsa dan Negara sebagaimana jargon TNI kita, setia kepada pelanggan jargon yang dilakukan oleh pihak bank swasta, PLN atau PDAM dan seterusnya kepada organisasi yang sering disebut dengan istilah loyalitas. Jadi “kesetiaan” berkaitan diluar soal sepasang kekasih, hanyalah kesekian kalinya pemaknaanya.
Lalu mengapa orang-orang menghajatkan kesetiaan? Tentu saja ini merupakan kontrak sosial jika berlaku pada masyarakat, kontrak politik pada interaksi antar partai politik atau pemilukada dalam koalisi pemerintahan maupun tim sukses. Kontrak cinta jika dilakukan sepasang kekasih maupun suami istri, baik di hadapan penghulu setelah mengucapkan akad nikah atau di hadapan pantai, gunung, langit desiran air sebagaimana dihiperbolakan oleh para penyair.
Kontrak-kontrak demikian memiliki pemaknaan sumpah setia untuk tidak ada penghianatan dengan segala konsekuensinya dan segala haknya. Ini bisa dimaknai sebagai “ketakutan” bisa juga dimaknai sebagai “ ketegasan” yang diikuti dengan konsekuensi punishment. Kemudian persoalannya bagi pihak dalam posisi superior dalam segala macam kontrak lebih banyak menuntut hak kepada pihak yang diajak berkontrak, sedikit sekali memberikan hak atau melaksanakan kewajiban dari hak pihak lain.
Negara biasanya memberikan punishment kepada aparat yang melanggar kontrak kesetiaan/loyalitas dan disiplin. Tetapi Negara juga memberikan reward kepada aparat yang melaksanakan tugas dengan baik sesuai dengan kapabilitas dan masa baktinya. Tradisi birokrasi demikian sudah berjalan dengan baik dalam menguji dan mengukur kesetiaan aparatur dengan mekanisme yang mengarahkan kepada profesionalisme. Contoh sederhana adalah bagaimana para guru diwajibkan mengurus sertifikasi guru, atau dosen dengan sertifikasi dosen agar tidak melulu “jago kandang” rutinitas mengajar kemudian pulang dan dapat gaji tiap bulan tanpa ada pengabdian dan penelitian yang mengarah kepada pencerahan publik.
Pada konteks ini, apakah kontrak kesetiaan dalam sebuah birokrasi harus bertumpang tindih dengan kontrak-kontrak lain yang sama kadarnya dan segala konsekuensinya apabila dilanggar sebagaimana dikeluarkan Kementerian PAN, jika pada sebuah institusi pemerintahan Kabupaten/Kota sekalipun memiliki hak otonom?
Saya kira kebijakan kesetiaan yang diperuntukan PNS di lingkungan Pemko Banjarmasin kepada Walikota dan Wakil Walikota sebagai tindakan kontraproduktif. Dalam konteks ini bahwa Walikota sebagai simbol pemerintah tidak percaya dengan kekuatan legal formal yang dimilikinya berkaitan dengan sumber kekuasaan yang melekat pada dirinya dan sumber kekuasaan yang melekat pada institusinya.
Hal ini justru membuka tabir di Pemerintahan Kota sebagai barometer pemerintahan kab/kota di Kalsel adanya “kepanikan dan ketakutan berlebihan” akan tidak loyalnya para bawahan kepada atasan. Bukankah aturan main dari produk Undang-Undang Nasional tentang Kepegawaian sudah cukup? Jadi saya kira BKD Kota keliru kalau surat edaran itu tidak ada unsur tekanan dan sekadar bersifat normatif. Justru bertendensi politis, dimana memungkinkan bersarangnya saling mencurigai antar aparatur pemkot, menyuburkan para pembisik negative thinking yang berimplikasi pada mengacauan iklim organisasi yang kondusif.
Selanjutnya, malah ada gejala kontra produktif terhadap prinsip-prinsip Good Governance, berkaitan dengan transparansi, yakni tidak memberikan informasi kepada publik. Selain itu membatasi kreatifitas pegawai, karena takut salah kalau bertindak kreatif dan inovatif dalam melayani publik. Sebenarnya prinsip pemerintahan otonomi daerah adalah soal kemandirian dalam melayani publik dan membiayai kegiatan pemerintahan.
Sebenarnya membangun loyalitas itu bukan dengan surat kontrak demikian, tetapi loyalitas tumbuh apabila seiring dengan kapabilitas, kapasitas dan komitmen pimpinan terhadap visi dan misinya dalam membangun kota yang diperlihatkan kepada bawahan dan publik. Penghormatan dan loyalitas bukan dengan pendekatan sanksional, tetapi dengan pendekatan professional dan paham Pemerintahan ini mau dibawa kemana. Dalam pendekatan kepemimpinan (leadership) sebagaimana dikemukakan G.Terry, saya kira aparat birokrasi Kota tidak perlu menggunakan pendekatan otoriter pada level middle dengan melihat kemampuan yang dimiliki aparatur selama ini, cukup dengan pendekatan partisipatif dan demokratis karena juklak dan juknis yang dimiliki pemerintah cukup memberikan gambarannya. Justru yang diperkuat adalah controlling saja (pengawasan)
Saya kira, ini adalah gambaran pemerintahan yang “panic”. Publik harus menjadikan pelajaran semua ini, bahwa memilih pemimpin haruslah mereka yang memiliki komitmen dan kemampuan yang cukup dalam mengelola organisasi pemerintahan. Demikian pula elit politik kalau menjadi pemimpin harus menakar dulu kemampuan yang dimiliki, bukan sekadar gagah-gagahan hanya karena mampu menyelesaikan kemenangan dengan pendekatan “politik transaksional”.
Penulis: Dosen Fisip Unlam Banjarmasin.(Banjarmasin Post, 26 April 2011)

No comments: