Wednesday, October 26, 2011

Otonomi Daerah, Politik Transaksional dan Implikasi Kebijakan Publik

Oleh: Taufik Arbain

Hadirnya otonomi daerah sebenarnya didasarkan untuk mensejahterakan masyarakat di daerah ketika pembangunan dengan pendekatan sentralistik selama ini dianggap belum dan tidak mampu memberikan kesejahteraan rakyat. Sempitnya otoritas yang diberikan oleh pemerintah pusat sebagai alasan implikasi pemerintahan di daerah tidak mampu mengembangkan inovasi-inovasi dalam memanage pemerintahan dan pelayanan publik yang prima kepada masyarakat di daerah.

Namun, sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, memberikan gairah dalam pelaksanaan pemerintahan bagi aparat, elit politik dan masyarakat di daerah. Salah satunya adalah tingginya kuantitas produk-produk kebijakan publik (perda) yang mengatur kepentingan-kepentingan daerah dan tuntutan-tuntutan para elit politik atas pemekaran daerah guna tercapainya implementasi otonomi daerah yang hakiki.

Sebagai salah satu produk reformasi, otonomi daerah hadir beriringan dengan proses demokratisasi yang memberikan kemerdekaan kebebasan masyarakat dalam mengemukakan pendapat hingga melahirkan elit-elit politik baru di daerah yang memanfaatkan eksistensi partai-partai politik sebagai instrument efektif meraih kekuasaan di tingkat lokal. Apalagi sejak tahun 2005 memungkinkan dilaksanakannya pemilu kada dengan pendekatan direct democracy. Sebagaimana pandangan Bryan Smith (1985) tujuan pemilu kada sebenarnya adalah untuk menciptakan pemerintah daerah yang akuntabel dan responsif serta terbangunnya persamaan hak politik di tingkat lokal.

Dalam konteks ini situasi politik di tingkat lokal terjadi perubahan yang signifikan dimana pemilu kada secara langsung telah memindahkan arena politik dalam institusi perwakilan (DPRD) menjadi arena terbuka, tidak hanya melibatkan kekuatan-kekuatan politik formal tetapi melibatkan kehadiran yang rakyat sebagai objek penyeleksi kepemimpinan lokal. Pelibatan rakyat dalam kepemimpinan lokal di era otonomi daerah ini memiliki implikasi terhadap janji-janji politik dalam masa kampanye hingga berimplikasi pada out put – out put kebijakan publik setelah memegang tampuk kekuasaan.

Lebih jauh, setiap kebijakan publik yang diimplementasikan memberikan ruang terbuka tingginya partisipasi publik karena proses pemilu kada menjadi pijakan esensial untuk mendapatkan legitimasi dari rakyat dalam menjalankan pemerintahan sebagai wujud pelaksanaan sistem demokrasi di tingkat lokal (Diamond, 2003).

Situasi politik lokal atas implementasi otonomi daerah dan demokratisasi ini memberikan eksternalitas positif kepada berbagai lapisan masyarakat baik dunia usaha maupun sosial budaya, dan pada aras lanjutannya menjadi isu-isu publik hingga menjadi kebijakan publik (Dunn, 2000). Celah-celah ranah demikian, justru akhirnya memiliki implikasi negatif secara komprehensif dimana ragam kepentingan personal, tim sukses, partai politik maupun pemodal ekonomi yang melibatkan diri dalam proses demokrasi (pemilu legislatif dan Pemilu kada) mengambil “hak-hak politik ekonomi” mereka lewat sumber-sumber yang “diamankan” dengan kebijakan publik (perda). Tidak jarang kebijakan yang dibuat seolah-olah merupakan usulan dan hajat publik, dimana “partisipasi prosedural “ dijadikan sandaran terpenuhinya unsur demokratis dalam pengambilan keputusan dan memenuhi perintah undang-undang. (baca: musrenbang ).

Harapan kebijakan publik pada awalnya untuk kepentingan semua masyarakat, memungkinkan dibalik kehadiran kebijakan publik oleh pemerintahan di daerah justru adalah kepentingan segelintir pihak yang menjadi bagian dari kekuasaan dimana sebelumnya telah membuat kesepakatan praktek “politik transaksionis.” Pembangunan infrastruktur jalan, jembatan atau fasilitas umum yang tidak prioritas dan tidak terukur dalam analisa manfaat yang tidak memberikan multiplier effect yang besar serta inefesiensinya pemanfaatan dana APBD adalah contoh dari kebijakan model ini.

Menariknya, perkembangan terakhir politik lokal, ketika sebelumnya para pemodal ekononi yang berorientasi pada pengurasan alokasi sumber dana APBD lewat proyek-proyek pembangunan di daerah sebagai penyokong dana politik kandidat termasuk pengkaplingan lahan-lahan perkebunan dan tambang, kini terjadi pergeseran signifikasi atas posisi-posisi politik formal. Perebutan posisi leader di ranah partai politik misalnya, adalah “jalan lain” menuju kekuasaan politik yang lebih luas termasuk implikasinya pada arah kebijakan publik yang dibuat.

Ragam kecemasan out put kebijakan publik yang didasarkan pada “politik transaksionis” pada gilirannya mendatangkan problem baru terjadi konflik kepentingan antar masyarakat dan pelaku kekuatan politik formal dan kekuatan non formal. Fakta inilah pemicu lahirnya kebijakan populis - pragmatis yang justru tidak dikategorikan sebagai kebijakan publik yang rasional, teknokratis dan strategis yang lebih substainable serta menyentuh pada kepentingan masyarakat luas. Inilah mengapa para analis kebijakan publik melihat implementasi otonomi daerah dimana harapan untuk mendekatkan pelayanan publik prima, justru masyarakat menjadi pihak yang menanggung implikasi negatif dari kebijakan publik atas perilaku “politik transaksional” tersebut.

Penulis: Dosen FISIP UNLAM BANJARMASIN. diterbitkan Banjarmasin Post, 29 maret 2011

No comments: