Wednesday, October 26, 2011

Jabatan Mesin Birokrasi

Oleh: Taufik Arbain
Jika dalam undang-undang jabatan politis itu adalah Kepala Daerah dan wakil kepala daerah baik tingkat Provinsi maupun kabupaten/kota, maka jabatan sekretaris daerah atau Sekda adalah bukan jabatan politis, tetapi jabatan karier berdasarkan aturan main yang juga diatur dalam regulasi berdasarkan kepangkatan, golongan, kecakapan, kapabilitas, loyalitas dan profesionalisme. Seorang Kepala Daerah memiliki hal prerogative untuk menunjuk dan menempatkan seseorang menjadi Sekda setelah unsure regulasi tersebut dipenuhinya disamping berdasarkan pertimbangan-pertimbangan lain.

Dan jabatan Sekda bisa diperpanjang oleh Sang Kepala Daerah karena dianggap mampu menjalankan fungsi mesin birokrasi dan sesuai selera sang Kepala Daerah. Tetapi, jika selalu diperpanjang, maka fungsi birokrasi yang professional sudah masuk dalam aras bias dan beraroma politis. Aroma politis inilah akhirnya, melemahkan alasan sebenarnya sebagaimana dimaksudkan regulasi (aturan) bahwa jabatan Sekda bukan jabatan politis.
Pertanyaannya adalah, apa sebenarnya yang mendasari selalu diperpanjang? Apakah di sebuah lembaga Pemerintahan sekelas Provinsi tidak mampu mencetak dan menggodok proses kepangkatan yang mendorong terciptanya kaderisasi birokrasi dalam sebuah pemerintahan yang hamper mencapai dua periode? Apakah mekanisme selama ini tidak berjalan sehingga tak seorang pun bisa dianggap tidak layak memperoleh eselon tertentu untuk mencapai posisi tertinggi karier birokrasi?
Jika terjadi demikian, boleh dikatakan dalam birokrasi pemerintahan provinsi telah terjadi proses “kemandegan” jabatan karier yang cenderung dikuasai atas dasar kepentingan dan aroma politis tadi. Jika sudah beraroma politis, ada kemungkinan berpengaruh terhadap pengambilan keputusan-keputusan strategis.
Kondisi ini setidaknya memiliki dampak bahwa setiap orang yang berkarier di birokrasi dimana posisinya hampir mencapai posisi puncak, tidak bisa banyak berharap untuk meraihnya. Tentu saja dalam banyak teori manajemen dan birokrasi, kondisi ini melahirkan perilaku organisasi dimana tidak sedikit orang lemah motivasi kerja yang berorientasi pada prestasi kerja dalam rangka mendukung kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pimpinan termasuk yang dikawal oleh sang Sekda, alias apa adanya saja. Jar urang Barabai, “mantah lalakiannya” behimat-himat.
Dengan demikian, untuk menciptakan pemerinatahan yang baik (good governance) yang mendorong pada prinsip-prinsip diantaranya produktifitas, efektifitas, akuntabilitas, efisiensi dan lainnya tidak bisa berharap banyak. Salah satu unsur yang tidak bisa berjalan adalah kaderisasi birokrasi. Tentu saja alasan profesionalisme jangan terpaku pada tataran elit saja, tetapi profesionalisme harus terdistribusi pada level birokrasi yang lain, dimana iklim organisasi sangat menentukan membangun profesionalisme tersebut, sehingga menghilangkan kesan “profesionalisme alone”
Saya kira ada pendekatan yang dilakukan oleh beberapa lembaga pemerintahan di Indoensia untuk menilai dirinya sendiri, tidak sekadar survey indeks kepuasan publik (IKP) dimana untuk mendapatkan tanggapan persepsi publik terhadap pelayanan publik, yakni menilai dengan pendekatan cross-check bagaimana tanggapan bawahan terhadap Kepala Dinas, Kepala Biro, Kepala Seksi bahkan Sekda demikian pula sebaliknya sehingga diperoleh indeks atas hubungan dan jalinan dalam interaksi birokrasi tersebut.
Nah, dengan demikian membantu Kepala Daerah dalam membuat pertimbangan dan penilaian terhadap siapa saja yang bisa diangkat termasuk diperpanjang masa jabatannya dengan melibat faktor determinan keselarasan hubungan pada level elit, menengah hingga bawah dalam interaksi di tubuh birokrasi.
Jika tidak, apakah benar perpanjangan jabatan dikarenakan oleh profesionalisme, kapabilitas ataukah faktor lain yang justru bernuansa politis, dimana sangat memungkinkan dugaan banyak pihak ada “pengamanan-pengamanan tertentu, dan atau “balas jasa tertentu”?
Tentu saja polemik tentang perpanjangan jabatan Sekda ini harus menjadi catatan bersama dalam memberikan tauladan bagaimana mengelola birokrasi yang baik dimana pentingnya memberikan ruang pada mekanisme kaderisasi yang berujung pada meningkatkan motivasi dan prestasi kerja, bukan motivasi seorang saja. Disinilah membedakan mana mental seorang pemimpin dan bukan seorang pemimpin yang memberikan ruang bagi lain untuk mengikuti jejaknya. Terhormatlah ia.(Idabul Mata Banua 26 September 2011)

No comments: