Monday, December 12, 2011

Pelangsir BBM

Oleh: Taufik Arbain
Tulisan kali ini soal pelangsir. Dalam sebuah perjalanan pulang minggu lalu dari Batu Licin menuju Banjarmasin, saya sengaja naik travel sekitar pukul 13.00 wita. Saya sangat menyenangi perjalanan tersebut karena bisa banyak mendengar cerita dan pengalaman para sopir travel. Dari pengalaman perjalanan sebelumnya ada saja kisah pemilik travel yang sangat ketat urusan BBM, soal penginapan menanti siang seadanya hingga soal ketika sang sopir mendapatkan penumpang dan melaporkan kepada pengelola, justru tidak mendapatkan bonus dari usaha baiknya tersebut sekadar tambahan rezeki.


Rupanya siang itu sang sopir mengatakan akan mengisi BBM di SPBU. Dari kejauhan saya sudah melihat antrean mobil taksi warna hijau. Dalam benak saya,” wah ini akan memakan waktu 30 menit dalam perkara menunggu antrean BBM!”. Rupanya sang sopir langsung menerobos ke arab berlawanan dari antrean tepat didepan mesin SPBU. Saya sangat kaget, karena sang sopir tidak mentaati aturan antre.

Saya menggunakan bahasa yang mendorong sopir akan bercerita banyak soal “ kewanian “ dia itu. Dia pun bercerita, bahwa sudah menjadi hukum alam, jika mobil travel apalagi yang mengejar penerbangan untuk mengambil hak cepat mendapatkan jatah BBM. Sedangkan kelompok mobil angkutan pedesaan harus minggir dan tetap pada posisi antrean. “ karena buhannya itu adalah kelompok pelangsir!”.

Saya sungguh tidak menduga, bahwa kelangkaan BBM menjadi model baru untuk mendapatkan tambahan keuangan. Boleh jadi pukul 13 dan seterusnya adalah bukan jam padat orang menggunakan angkutan, sehingga waktu yang tersisa digunakan parkir di SPBU. Bahwa kalau tidak berkeliling terjadi penghematan BBM dan kalau menjual BBM dari langsiran mendapatkan keuntungan.

Pertanyaannya, lalu dimana peran pemerintah yang tugasnya memberikan pelayanan kepada publik termasuk layanan angkutan pedesaan? Saya kira Pemerintah tidak bisa membiarkan suasana demikian. Akibat kelangkaan BBM terjadi pengabaian terhadap pelayanan publik yang dimitrakan kepada pihak swasta. Kelangkaan BBM mendorong orang tidak mengindahkan kepentingan publik, malah terlibat dalam bisnis yang dilarang. Lalu siapakah yang diberikan otoritas dalam mengatasi ini?

Kita patut mempertanyakan, mengapa kelangkaan BBM luar biasa menjadi persoalan pelik. Bahkan parahnya bagaimana mungkin pebisnis SPBU telah merampas hak-hak warga yang lain dalam penggunaan jalan. Mobil, truk dan motor harus antre separuh badan jalan. Hal demikian saya kira banyak masyarakat awam kurang memahami bahwa ada hak-hak publik yang dirampas oleh pebisnis. Selama ini mereka pahami hanya antrean saja tanpa mengetahu hak-hak publik sendiri.

Apalagi keterlibatan aparat yang membantu para pelangsir dibiarkan begitu saja, dimana dikawasan SPBU seperti tanah lapang produk mobil hijau angkutan pedesaan. Pemandangan yang nyata demikian, saya rasa tidak mungkin tidak diketahui oleh aparat.
Dalam konteks ini memang terjadi kebosanan melihat kelangkaan BBM di negeri penghasil BBM, padahal data pertumbuhan kendaraan bermotor kalsel yang mencapai 21 % per tahun bisa dijadikan dasar kouta kepada Pertamina untuk Kalsel. Data tumbuhnya perusahaan di kawasan perkebunan dan tambang pun nampaknya belum ditelah oleh Pemerintah, sehingga sangat memungkinkan BBM hak rakyat berubah menjadi hak Perusahaan.

Sistem yang rusak dalam pelayanan publik khususnya pihak Pertamina kepada masyarakat telah memicu masyarakat berperilaku nakal dan menyimpang. Negara rupanya tidak bisa menjamin bahwa kasus kasus demikian berpengaruh pada aspek perilaku publik yang memperlambat dalam upaya pembentukan karakter bangsa. Negara tidak bisa bersikap tegas terhadap pihak perusahaan yang mengambil hak-hak masyarakat lewat membeli BBM langsiran, termasuk pelaku langsiran yang setiap hari nongkrong di kawasan SPBU. Jadi penderitaan Kalsel ini cukup lengkap, Listrik sering padam, BBM sering antre…lalu teman saya ada nyelutuk., “ kenapa ya kita menyerahkan pulau ini kepada Republik 1946, padahal Jakarta tidak ada kelangkaan BBM dan sering mati listrik, sementara kita tidak dianggap”! demikian ungkapan kecewa teman!
diterbitkan pada kolom Idabul Mata banua, 12 Desember 2011

No comments: