Monday, December 12, 2011

Ideham Chalid: Politisi Tahan Cuaca, Inspirasi Indonesia Oleh: Taufik Arbain

“Manusia hidup tidak bisa melepaskan diri dari memperhitungkan risiko, mempertimbangkan manfaat dan mudharat dari setiap pekerjaannya”
(Idehan Chalid, 1982)


Pengantar

alam perspektif politik, seseorang yang mampu menapaki zaman - ke zaman dalam gegap gempita politik dikategorikan sebagai seorang politisi yang pandai memainkan kartu kapan bertahan, kapan menyerang, kapan diam, kapan bicara dan kapan memanfaatkan momentum. Tidak sedikit orang dalam dunia politik, sekalipun masih banyak waktu baginya untuk bertahan dalam lingkaran kekuasaan, harus terhenti langkahnya bahkan “babak belur” hingga ajal menjemputnya. Namun demikian, pola-pola demikian tidak sedikit pula akan kontra produktif dalam pandangan banyak orang sebagai penganut politik oportunis dan dianggap cenderung menguntungkan dirinya sendiri atau kelompoknya.


Ragam tafsir ini saya kira konon akhirnya dominan dialamatkan kepada Alm. DR.KH Ideham Chalid (selanjutnya saya singkat IC) dalam sepak terjangnya sebagai seorang ulama yang menjaga kemaslahatan ummat (grassroot) dari gerakan-gerakan separatis pada masa itu (baca keterlibatan NII/DII) dan sebagai seorang politisi yang menjaga keseimbangan hubungan negara baik dalam infrastruktur politik maupun suprastruktur politik dalam ranah kompromistis, strategis dan bisa jadi pragmatis. Ini pulalah saya kira mengapa kehadiran IC akhirnya seperti senyap dalam catatan gerakan NU pasca Mukhtamar Sitobondo.

Meminjam istilah Muhajir (2007) yang mengutif Urvashi Batula sebagai “sisi balik senyap”, dimana langkah politik dan aktifitas keulamaan IC kurang banyak diungkap ke permukaan. Apalagi persepsi tentang IC menjabat Ketua Umum saumuran dalam kepengurusan pusat NU dianggap sebagai bentuk resistensi dirinya dalam bargaining position untuk tetap hidup dalam lingkaran kekuasaan.

Persepsi-persepsi yang bergentangan dalam multi tafsir ketika membandingkan sesuatu dengan tidak melihat setting dan konteks zaman, terlebih membandingkannya dalam zaman dan masa perubahan sekarang baik sistem politik, perkembangan demokrasi, sosial ekonomi, keagamaan maupun lainnya, tentu saja sama saja seperti membandingkan buah yang tidak dalam rumpun atau spesisnya. Bagaimana bisa membandingkan kemanisan apel dengan jeruk? Kecuali jeruk dengan jeruk yang berbeda lokasi tanam dan benih, demikian pula apel dengan apel. Kearifan pemahaman seperti ini saya untuk mencoba melihat tarikan pelajaran dan cabaran yang dihadapi seorang tokoh seperti DR KH Ideham Chalid sebagai seorang tokoh yang mampu hidup dalam banyak terpaan zaman.

Berdebat dengan Soekarno

Sedikit sekali zaman sekarang orang berani mendebat seseorang yang memiliki kartu As menentukan siapa yang layak duduk atau tidak dalam posisi jabatan terhormat dan mulia. IC melakukan perdebatan hebat dengan Soekarno ketika menentukan Kabinet “ berkaki empat” yang didalamnya harus ada partai peserta pemilu 1955 yakni Masjumi, PNI, NU dan PKI. IC membawa misi suara rakyat untuk tidak dilibatkannya PKI karena memiliki catatan “madiun affair” dan soal ideology yang athies. Taruhan yang dilakukan IC adalah siap dan rela mengundurkan diri dari kabinet dengan posisi Waperdam II dan disampaikan langsung kepada Soekarno dengan bahasa yang santun. Sekalipun dalam perjalanan waktu NU terpaksa mau bekerja dengan PKI dalam barisan kabinet sebagai strategi akomodasi politik sekalipun bersifar semu dalam rangka bertahan dalam percaturan politik.

Dalam catatan sejarah pelantikan cabinet Ali Sastroamidiojo II yang dilantik 24 Maret 1956 satu-satunya cabinet yang mendapat restu setengah hati dari Soekarno dengan cara membaca sumpah sendiri-sendiri. Tudingan pun diarahkan gara-gara “ulah Ideham Chalid” yang menentang dilibatkannya orang PKI dalam kabinet. Boleh jadi hal demikian tidak banyak didengar oleh ummat di grass root sehingga yang tampak hanyalah posisi sebagai pejabat Negara dengan segala sumber kekuasaan yang dimilikinya.

Catatan yang dibentangkan Mandan (2008) dalam percakapan pertemuan IC dan tokoh Masyumi dengan Soekarno kala itu, dalam analisis saya justru disinilah tonggak mengapa IC bisa hidup kembali dalam zaman Soeharto sebagai symbol penentnag Soekarno dan PKI pada masa itu. Di samping NU merupakan salah satu catatan yang harus dienyahkan oleh PKI. Justru IC tetap memainkan peran politiknya dalam membuat keseimbangan pemerintahan dari pengaruh PKI dan representasi ummat Islam, disamping kekuatan sebagai ulama untuk menjaga konstituen ummat dalam pengambilan keputusan di Parlemen ( keterlibatan partai politik NU) sebagai basis dukungan massa dan tidak tergiring dalam gerakan NII/DII.

Kemampuan membaca zaman, siapa yang memang benar menjadi lawan sekalipun lawan di “sayang” oleh sang penguasa Soekarno kala itu, sebuah kecerdasan politik yang diperankan oleh IC. Ini yang terkadang jarang banyak dilakukan banyak pihak bahwa kekuasaan yang diperoleh cenderung melupakan kekuatan massa pemilih apalagi dalam zaman yang serba sulit.

Jadi sekalipun di era Soeharto NU tidak lagi menjadi sebuah partai tetapi dilebur dalam PPP, setidaknya andil dan peran NU dalam satu visi menjadikan PKI sebagai common enemy, sebuah taktis strategis NU tidak keluar dari lingkaran kekuasaan.

Membangun KPK

Negara dihadapkan tidak sekadar mengguritanya kekuatan PKI yang ia tahan di level atas lewat gerakan penentangan masuknya dalam kabinet, juga melakukan gerakan di level bawah dalam konteks keamanan Negara, tetap membangun jaringan patronase di kalangan ummat. Masjumi sempat terjebak dalam tuduhan turut mendukung gerakan simpatian NII/DII misalnya, IC lewat kekuatan NU-nya menjaga jaringan patronase untuk tetap memandang Negara sebagai milik bersama semua golongan dan pemeluk agama. Godaan-godaan kekuasaan saat demikian dimana umat bisa dikendalikan dengan peluang memungkinkan saya kira bisa saja dilakukan IC bersama kawan-kawan ulama. IC mampu memainkan peran sebagai politisi muslim yang nasionalis.

Ini dibuktikan kemampuan IC membawa pengaruh NU pada upaya membawa bangsa dan Negara yang menghargai pluralisme berdasarkan kebersamaan dan beragamaan sebagaimana Pancasila. Tugas Waperdam II salah satunya berkaitan dengan keamaan Negara, sangat memungkinkan bagi IC menyelesaikan ledakan-ledakan pemberontakan dari kalangan pejuang-pejuang orang Islam sendiri seperti NII/DII SM Kartosowiryo, Ibnu Hajar , Kahar Muzakar dan Daud Beureuh di Aceh. Fakta jaringan yang bagus dibuktikan dengan pembentukan KPK (Kiai-kiai Pembantu Keamanan) sebuah badan yang terdiri para kiai sebagai agen keamanan dibentuk untuk turut meredakan gejolak pemberontakan yang membawa misi provokatif dengan dalil-dalil keagamaan.

Para kiai ini menjalankan misi membangun kesadaran umat atas sebuah perjuangan yang mengedepankan kebersamaan dan pluralism. Apalagi kala itu kehadiran IC dalam lingkaran kekuasaan mendapatkan tuduhan membawa NU sebagai pihak yang membantu Republik Indonesia Kafir (RIK). Sebuah tuduhan yang bisa jadi memporak porandakan ummat atau NU sendiri dibawah kendali IC.


Kepiawan Mengkonstruksi Jaringan

Sebagai seorang Banjar kader NU di luar Jawa, biasa enggan dan kalah tadah kalau bertemu dengan para ulama dan senior dari pulau Jawa, apalagi dalam umur yang relative muda. Ada beberapa catatan penting mengapa ada bentuk keberterimaan orang Jawa terhadap diri IC. Pertama, IC sebagai seorang yang rendah hati, hormat dan santun kepada siapa pun sekalipun berbeda pendapat. Inilah yang saya mencerminkan kelihaian dalam memainkan strategi politik. Saya menduga, kedatangan Soekarno ke Amuntai yang disambut oleh para demonstran menanyakan apakah Negara ini berideologi Islam atau Pancasila, adalah buah arsitek dari pikiran IC untuk menegaskan pada Soekarno adanya kekuatan umat Islam di pelosok negeri sebagai bentuk bargaining position dan harus menjadi pikiran Soekarno untuk tidak mengabaikan umat Islam dari sekadar sebagai sapi perahan dalam pesta politik pemilu.


Kedua, kemampuan membangun jaringan dan penghormatan kepada kawan-kawan dan patronase. Sebagai alumni Gontor saya kira merupakan factor determinan akseptabilitas dirinya sehingga orang-orang yang se-alumni dengannya yang banyak berada di ranah politik dan menentukan dalam setiap pengambilan keputusan. Boleh jadi inilah pendukung utama kehadiran dirinya dalam kancah politik, khususnya suara-suara kader NU di luar Jawa hingga bertahan dalam beberapa periode kepemimpinan NU. Kemampuan menjaga hubungan dengan banyak pihak saya kira adalah rahasia dirinya tetap pada posisi strategis.

Jadi kepiawan IC saya kira bukan disebabkan sekadar talenta organisatoris yang pernah terpenjara di Kandangan sebagai pejuang kemerdekaan, tetapi NU telah membawa pada situasi yang mendorong menjadi organisatoris piawai yang tidak terpaku bicara soal kemaslahatan ummat dan kepentingan masa depan Islam sebagai agama, tetapi ada pemahaman bahwa kehadiran politik dengan segala unsur kepentingannya penting menyatu dalam aktifitas amal ibadah NU.

Mandan ( 2008) misalnya telah membentangkan pikiranya bahwa NU dalam masa kelahirannya saja realitas yang ada pada zamanya memaksa NU untuk bergulat dalam ranah politik, bukan bergulat pada kegiatan sosial semata. Dan nampaknya IC sangat paham paradigm itu. Jadi pendahulu IC dalam memainkan peran NU misalnya saya kira justru menjadi inspirasi IC bagaimana memainkan peran dalam darah Ke-Nu-annya agar bisa membangu bargaining power dalam sengketa-sengketa politik sebagaimana terjadi tahun 1952-an adanya distribusi kekuasaan di Partai Masyumi hingga membuat NU memilih jalan sendiri menjadi Partai Politik. Geliat-geliat politik yang monumental ini saya kira menjadi dorongan bagi IC untuk mengambil peran yang sama dalam masa depan NU.

IC telah mampu membawa kewibawan dan kekharismaan NU dalam lingkaran kekuasaan dan menjadi organisasi sosial keagamaan “yang dianggap” oleh penguasa bahkan pergantian penguasa sekalipun, sesuatu yang pada era transisi Soekarno dan Soeharto merupakan era pemberangusan siapa pun yang pernah menjadi bagian dari lingkaran kekuasaan Soekarno.

Sebagai politisi / pejabat Negara IC meluangkan waktunya tetap membangun ke NUannya dengan melatih kader-kader NU agar berkualitas SDM-nya untuk dinaikkan tingkat pengetahuannya tentang ketatanegaraan, keparlemenan dan kepemerintahan sebagai sebuah jalan menuju kekuasaan. Dan saya kira ini sebuah bentuk pikiran cerdas seorang IC memainkan irama NU agar selalu hadir dalam perubahan politik sesuai dengan zamannya. Haidar (1998) misalnya mempetakan kemampuan IC dalam memainkan peran NU dalam tiga penyangga yakni ulama, pesantren dan Politisi yang memegang peranan penting dalam menjadikan NU tetap eksis.


Penutup

Perilaku kesederhanan, santun, membangun jaringan dan gerakan politik yang diorientasikan bagi masa depan ummat dan bangsa adalah ciri seorang Ideham Chalid. Sekalipun ia harus menghadapi badai dan ombak politik bahwa keputusan-keputusan itu dianggap sebagai bentuk opurtonis dan tidak punya pendirian. Menjaga system dengan masuk dalam system adalah lebih baik dibandingkan di luar system dengan kondisi yang tidak memungkinkan mengatur arah perjalanan bangsa.

Saya kira IC seorang yang mengingat betul pesan-pesan pendahulunya termasuk orangtuanya dalam melangkahkan kariernya, “ Dalam pergaulan hendaklah berhati-hati. Yang penting persahabatan dan saling percaya mempercayai kian dipupuk. Bukankah pintu gerbang untuk memasuki suatu keyakinan adalah lebih dulu “senang “dan ‘percaya” kepada orang membawanya? “ demikian ungkap ayah Ideham Chalid kepadanya.

Wallahualam bissawab. Banjarmasin Post, 10 Novemver 2011

No comments: