Thursday, October 3, 2013

Menakar Pemilu Kepala Daerah Provinsi Catatan Kecil Wacana Pemilihan Kepala Daerah Provinsi lewat Lembaga Legislatif


Oleh: Taufik Arbain

Pengantar
Bangsa ini adalah bangsa percobaan, khususnya dalam ranah politik. Dimana sistem kepartaian, sistem pemerintahan bahkan sistem pemilihan dalam pemilu Kepala Daerah selalu melewati proses dan tahapan diikuti dengan konsekuensi dan implikasi demokrasi yang berlaku kekinian. Perubahan-perubahan ini harapannya untuk meraih demokrasi yang ideal (substantive democracy),
yang memberikan pencerahan dan kebaikan bagi warga dan elit. Dalam bahasa Heller (1971) justru bagaimana demokrasi diletakkan pada konsep Negara kesejahteraan dan keadilan sosial, bahwa demokrasi tidak hanya ada proses seleksi elit pemerintahan tetapi harus ada jaminan kelembagaan wakil-wakil rakyat di parlemen (legislative) yang dipilih secara demokratis menjalankan prinsip-prinsip ideal kepentingan rakyat.
Wacana pemilihan Kepala Daerah kembali ke ranah parlemen, saya kira menarik dengan meminjam rujukan dari Heller tadi. Bahwa selama ini pemilihan Kepala Daerah secara langsung memang memiliki implikasi yang bagus dalam mendorong partisipasi publik terlibat dalam politik dan legitimasi kedaulatan rakyat. Sebagaimana pandangan Bryan Smith (1985) tujuan pemilu kada langsung sebenarnya adalah untuk menciptakan pemerintah daerah yang akuntabel dan responsif serta terbangunnya persamaan hak politik di tingkat lokal. Pandangan inilah akhirnya mendorong terjadinya “sale besar” pendekatan demokrasi langsung dan “cuci gudang” demokrasi tidak langsung (parlemen).
Pada perkembangannya “sale besar” demokrasi langsung ini dielu-elukan oleh rakyat bahwa dirinya memungkinkan untuk memilih elit pemerintahan tidak lagi sekadar suaranya “dibajak” oleh oleh wakil rakyat sebagaimana sebelumnya, tetapi memilih sesuai hati dan nuraninya bahkan bertemu langsung dengan sang elit dan tim sukses. Rakyat memungkinkan melakukan barganining position untuk melakukan kontrak-kontrak politik sekalipun cenderung inkomprehensif termasuk melakukan langkah-langkah transaksionis. Namun, pada perkembangan pasca pemilu kada, justru proses transaksional berkembang lagi di tataran elit yang memberikan implikasi pada keputusan-keputusan kebijakan publik (public policy). Akhirnya pemilu kada hanyalah sebuah “pesta transit rakyat” dalam pergumulan hiruk-pikuk aksesoris demokrasi. Pencapaian ideal dari tujuan sebagaimana pandangan Heller dan Smith hanyalah angan-angan belaka.
Pertanyaannya, apakah jika pemilihan Kepala Daerah dengan pendekatan in direct democracy memungkinkan terbangunnya persamaan hak politik rakyat (pemilih) yang direpresentasikan lewat elit politisi (baca: anggota legislatif) ?
Menakar Kembali Pemilu Kada Provinsi
Perpindahan pemilihan yang semula dari ranah parlemen, kemudian ke ranah publik, kemudian diwacanakan ke ranah parlemen kembali memiliki implikasi yang tidak jauh berbeda baik implikasi politik, sosial maupun implikasi ekonomi. Namun demikian, pilihan tersebut sama-sama memiliki ruang untuk diperbolehkan. Dalam konteks ini, Undang-Undang Dasar memang tidak tegas memberikan syarat pemilihan terhadap Kepala Daerah sebagaimana Pasal 18 ayat 4 bahwa;” Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing kepala Pemerintah daerah Provinsi, Kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”, telah memberikan tafsir luas apakah mengikuti pendekatan direct democratis ataukah indirect democratis. Pilihan atas system ini tentu saja melewati proses dan perkembangan politik dimana tujuannya untuk menghajatkan keadilan, kebaikan dan transparansi serta implikasi positif terhadap pendewasaan politik rakyat dan dampak kesejahteraan (public policy).
Ironisnya terkadang kebaikan dan kesejahteraan dimaksud hanya pada tataran elit saja, sebuah dampak dari cara keduanya yang melakukan “tagihan-tagihan politik” . Kajian yang dilakukan Hidayat (2008) sebagaimana mengutif pendapat Case, pemilu Kepala Daerah yang dilakukan dengan direct democracy memungkinkan terjadi implikasi negatif, hal ini karena tidak diterapkannya asumsi substantive democracy. Asumsinya adalah dimana bertujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang akuntabel, transaparan an responsive akan mendekati mendekati kenyataan jika perilaku ideal demokrasi terbentuk di kalangan elit penyelenggara pemerintahan maupun dalam tataran pemerintahan.
Lalu bagaimana dengan pemilihan indirect democracy hanya pada level Kepala Daerah Provinsi saja? Saya akan melihat fakta ini dalam perspektif politik dan aras demokrasi.
Pertama; bahwa sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang posisi Pemerintah Provinsi adalah wakil pemerintah pusat, sedangkan kabupaten/kota merupakan daerah otonom dengan segala unsur, salah satunya urusan pemerintahan pelayanan publik berhubungan langsung dengan masyarakatnya. Ini jelas memberikan konsekuensi bahwa kinerja pemerintahan terdekat dengan rakyat pemilih akan mudah dinilai oleh rakyat pemilih yang memiliki otoritas selektif dan kontrol atas kebijakan pemerintah sehingga memungkinkan melakukan sanksi-sanksi kepada kandidat atau partai pengusung jika melakukan kompetesi kembali. Kekuatan kontrol ini merupakan partisipasi dan kedewasaan politik rakyat, sekalipun sebagaimana menurut Robert Dahl, partisipasi model demikian pada masyarakat berkembang bukanlah merupakan jaminan yang kuat dan handal. Sementara penilaian kinerja Kepala Daerah Provinsi relative tidak bermakna, kecuali proses pemilihan karena faktor pencitraan dan prosedural demokrasi.
Kedua, Pandangan yang mengedepankan efisiensi dana politik saya kira ada benarnya. Sekalipun sebuah demokrasi ideal tidak selalu diukur berdasarkan perspektif ekonomi, tetapi ketepatan kandidat yang dipilih dari representasi wakil rakyat yang memilih. Jika pandangan ini diikuti oleh kemampuan politisi yang cerdas dalam menempatkan atau merekrut kandidat Kepala Daerah yang memiliki kapasitas dan kapabilitas dengan mekanisme tertentu yang transparan tidak melulu pada politik transaksional, maka sebenar-benarnya efisiensi dan representasi hajat rakyat akan terpenuhi sebagai bagian dari proses demokrasi menuju pada demokrasi yang substantif. Sekalipun nyatanya perkembangan politik lokal terakhir, justru pada ranah ini melahirkan perlombaan merebut posisi nomor satu di lembaga politik formal (Arbain, 2011).
Dalam konteks ini diakui, masih memungkinkan adanya peluang politik transaksionis baik dalam tahapan pemanfaatan perahu pengusung hingga personal pemilih (baca: wakil rakyat), dimana ada penanggalan transaksionis rakyat jika pada pemilu kada langsung. Setidaknya, kalaupun ada pencacatan demokrasi yang massif dan sistemik (defectif democracy) sebagaimana pemilukada langsung, tidak merasuk pada space yang luas tetapi pada space yang sempit, sebuah langkah pendewasaan politik rakyat ketimbang terlibat dalam dua kali proses defectif democracy yang berimplikasi pada rapuhya upaya membangun kedewasaan politik rakyat.
Ketiga, pada saat pemilihan wakil rakyat via pemilu legislative di tingkat Provinsi harus memungkinkan adanya jaminan kelembagaan wakil-wakil rakyat yang dipilih untuk menjalankan fungsi-fungsi atas dasar prinsip kepentingan rakyat termasuk pemilihan kandidat Kepala Daerah. Pandangan ini ingin mereduksi bahwa , janji politik tidak sekadar berkaitan dengan soal kebijakan publik dan hal-hal menyangkut hajat orang banyak, tetapi menyangkut figur-figur yang akan dikompetesikan pada Pemilahan Kepala Daerah lewat Parlemen. Ini untuk menegaskan, penyerapan aspirasi bukan melulu hajat infrastruktur atau perda-perda dari usulan publik, tetapi berkaitan dengan aspirasi siapa saja yang akan diusung. Ini tidak lebih untuk memastikan agar semula demokrasi hanya melewati prosedural tetapi mencoba mengedepankan pada demokrasi yang bermakna. Disinilah akhirnya jangkauan kontrol pemilih saat pemilu legislatif menjadi lebih panjang dan luas, maka keraguan apakah hak politik rakyat (pemilih) akan terpenuhi setidaknya memberikan peluang kemungkinan ini
Luasnya jangkauan pemilih sebagaimana dimaksudkan sebelumnya untuk memastikan demokrasi mayoritas. Bahwa wacana itu harus memungkinkan terbentuknya kelompok-kelompok kepentingan mandiri di luar lembaga politik formal sebagai bagian dari infra struktur politik. Tujuannya untuk menciptakan peluang formulasi presentasi dan pertimbangan yang sama dari preferensi warga masyarakat terhadap kandidat Kepala Daerah Provinsi. Ini pula menegaskan tidak ada istilah rakyat ditinggalkan dalam rangka mengamankan logika demokrasi. Wolfgang Merkel (2010) melihat fakta ini sebagai bentuk menjamin standar demokrasi dengan pemerintahan (wakil rakyat) yang tanggap dan bertanggung jawab. Langkah ini pun sebagai kritik terhadap wakil rakyat agar peluang pemilihan Kepala Daerah mengedepankan rasionalitas, bukan transaksionis dari kepentingan kelompok underground economy, sebagaimana tuduhan selama ini kepada rakyat pemilih.
Penutup
Pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah Provinsi baik dengan system direct democracy ataupun indirect democracy merupakan pilihan yang dibuka ruangnya oleh Undang-Undang. Hanya saja faktor-faktor implikasi atas proses demokrasi tetap menjadi perhatian banyak pihak baik berkaitan dengan kapasitas pemilih (rakyat maupun wakil rakyat), jangkauan Kepala Daerah terhadap rakyat yang memilih, kemungkinkan hadirnya ketakutan-ketakutan adanya politik transaksionis, pemborosan anggaran Negara dan anggaran kandidat, dan upaya pendewasaan politik yang relative lamban. Namun demikian, politik adalah sebuah pilihan yang harus mengacu kepada kepentingan rakyat semata.

Banjarmasin, 2 April 2011.
Disampaikan pada Dialog Publik oleh BEM Fakultas Syariah IAIN Antasari, Aula Gedung PSB IAN Antasari Banjarmasin.

No comments: